Sabtu, 18 April 2020

Dikencani Genderuwo Belang Penghuni Sumur Tua - Kisah Seram

Wawan Setiawan Tirta

 Oleh: Dhany


Sepak  terjang jin yang suka mengumbar nafsu syahwat terhadap manusia sudah  sering diungk Dikencani Genderuwo Belang Penghuni Sumur Tua - Kisah Seram 

Sepak terjang jin yang suka mengumbar nafsu syahwat terhadap manusia sudah sering diungkap di media cetak maupun media elektronika. Dan hingga kini, kontroversi hubungan intim mahluk dari dua dunia masih terus bergulir. Ada yang menyatakan bisa, tapi, banyak pula yang menyatakan tidak mungkin!
Sebagian sosok yang gemar menggeluti dunia supranatural berkomentar, “Mustahil jin akan mampu mengintimi atau diintimi oleh manusia saat dirinya masih berwujud jin. Oleh karena itu, orang bisa mengintimi atau diintimi jin saat dia telah maujud menjadi manusia.”
Terlepas dari kontroversi dan pendapat yang beredar di tengah-tengah masyarakat, pada penghujung tahun lalu, di  Di Desa Sleman, Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, pernah dihebohkan oleh suatu peristiwa kejahatan seksual yang dilakukan oleh jin kafir atau biasa dijuluki Genderuwo Belang terhadap seorang
ibu muda beranak dua.
Menurut tutur yang berkembang, di antara puluhan jenis jin, maka,
Genderuwo Belang tercatat yang paling gampang tergoda birahinya terhadap kaum wanita dari bangsa manusia. Jadi bukan hal yang  aneh jika jin kelas rendahan ini lebih memilih untuk tinggal di dalam sumur tua atau pohon kawak di sekitar pemukiman penduduk.
Dan kali ini, yang menjadi korbannya adalah yang bernama Ny. Wati, 28 tahun, sebut saja begitu. Perempuan bertubuh sintal ini adalah merupakan isteri dari Ngadino, 36 tahun, dan sekaligus ibu dari dua orang anak. Kurniasih, 10 tahun dan Rita, 2 tahun. Menurut penuturannya kepada Misteri, sebelum tinggal di Sleman, suami-istri yang sama-sama tamatan SLTA ini selama 15 tahun tinggal di Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Gajah Mati, Desa Karak, Kecamatan Bungo, Kabupaten Bungo, Sumatera Selatan.
Ya … Wati yang lahir di Indramayu dan Ngadino asal Tegal, Jawa Tengah itu ikut orangtua masing-masing sebagai transmigran di Sumatera Selatan. Bak asam di gunung garam di laut bertemu dalam belanga, meski beda UPT, tetapi, dua anak muda itu saling jatuh cinta dan menikah di tanah perantauan. Di tengah-tengah kerimbunan lading cengkeh, cinta kasih keduanya membuahkan dua orang putri yang cantik-cantik dan lucu.
Dan ketika Rita berusia setahun, kakek Wati memintan dia segera  pulang ke Indramayu untuk mengelola pabrik beras pusaka peninggalan keluarga mereka secara turun temurun. Dan setelah mendapatkan izin dan restu ari kedua orang tua masing-masing, akhirnya, Wati bersama suami serta kedua anaknya pulang ke kampung halamannya. Indramayu, tepatnya di Sleman. Di tempat yang baru, Wati bersama keluarganya menempati rumah mungil yang bangunannya menyatu dengan huller. Sebutan untuk pabrik beras. Sebagai putri daerah, dalam waktu yang tak begitu lama, Wati pun langsung akrab dengan warga sekitarnya. Begitu juga Ngadino yang ramah dan rajin sholat berjamaah di mesjid. Bahkan, hanya dalam waktu beberapa bulan, Ngadino telah dipercaya untuk menjadi pengurus Jamiyah Al Waqiah guna mendampingi Ustadz Busro yang mulai uzur serta sudah terlalu lama menjadi pucuk pimpinan kelompok keagamaan di desa tersebut.
Secara kebetulan, sepanjang lima tahun teakhir, panen musim tanam rendeng dan musim tanam gadu tahun lalu adalah yang paling bagus hasilnya. Sudah barang tentu, huller yang dikelola Wati pun menjadi amat ramai. Sebab setiap kali memasuki penen raya, selain melayani masyarakat setempat, sejak dulu, huller tersebut juga melayani kontraktor pengadaan beras Bulog. Seperti biasa, setelah dikurangi bahan bakar minyak dan upah kuli, sesuai perjanjian, uang yang masuk pada tiap harinya langsung dibagi dua. 40 persen masuk dompet Wati, sementara yang 60 persen menjadi hak pemilik huller.
Sebagai lelaki yang ulet dan enggan berpangku tangan, untuk menambah penghasilan, Ngadino pun ngobyek gabah dari rumah ke rumah petani baik yang tinggal di satu desa setempat maupun ke luar wilayah Kecamatan. Sementara, huller dioperasikan oleh lima orang karyawannya. Seperti biasanya, gabah yang dibeli dari petani dan telah digiling menjadi beras lalu dibeli kontraktor pengadaan Bulog dengan selisih harga yang cukup besar.
Tak pelak, tiap harinya, Ngadino pun lebih banyak di luar rumah.   Wati yang mafhum terhadap keberhasilan dan keuletan suaminya benar-benar amat menikmati keadaan itu, sebagai wanita normal, dia merasa terpuaskan manakala perhiasan emas melilit leher jenjangnya serta melingkari lengan dan jari jemarinya.
“Pokoknya secara ekonomi, perubahannya amat drastic ketimbang
kami masih tinggal di Sumatera,” aku Wati kepada Misteri.
Siang itu hujan mengguyur sangat deras selang beberapa jam setelah keberangkatan Ngadino ke luar Kecamatan untuk ngobyek gabah. Para kuli pun dengan tergesa-gesa mengamankan jemuran gabah yang terhampar di halaman huller. Dan setelah gabah sudah berhasil ditutup terpal pastik, mereka pun bergerombol di dalam huller sambil minum kopi dan berbincang ngalor-ngidul.
Sementara itu dapur, Wati sedang sibuk menyiapkan makan siang buat mereka. Dan untuk menghindari kejenuhan, Wati sengaja mendengarkan radio FM yang diletakannya di atas meja dapur. Agaknya, lantunan lagu-lagu dangdut dan celoteh humor sang penyiar radio mampu meredam suara guyuran hujan di atas genteng.
Sambil bersenandung kecil mengikuti lagu dangdut yang tengah dilantunkan, jemari Wati pun dengan lincahnya menyiangi sayur dan daun polong. Di atas kompor, kini, minyak di dalam wajan mendesis-desis dan berubah riuh manakala sisiran daun polong dan bumbu dimasukkan ke dalamnya.
Seketika, bau gurih bumbu lodeh langsung memenuhi kamar dapur yang lumayan sempit itu, tak berapa lama kemudian, cincangan sayur dan wortel pun dimasukkan ke dalam bumbu ditambah segayung air dari gentong. Ketika dari corong radio 2 band, terdengar suara sang penyiar menyatakan akan menutup acara dangdut untuk diganti acara pop dengan penyiar yang lainnya, karena kurang suka lagu pop, Wati pun bermaksud menggeser ke frekuensi lain yang menyuguhkan acara
dangdut.
Bertepatan dengan memutar badan untuk menghampiri radionya, wanita berparas cantik itu seketika terlonjak kaget. Rupanya, tanpa disadari, sejak tadi dia sedang diperhatikan oleh suaminya, Ngadino yang bersandar pada kusen pintu dapur. Setelah sirna dari rasa terkejutnya, buru-buru, Wati melempar senyum ke arah suaminya sambil melontarkan pertanyaan ringan.
“Kok buru-buru pulang Kang? Gabahnya sudah dapat belum”, tanya Wati dengan manja.
“Cari gabahnya nanti saja. Aku sengaja pulang karena sudah tak
tahan,” jawab Ngadino sambil menyeringai penuh arti dan melangkah menghampiri isterinya.
Seketika, Wati membalas pelukan suaminya dengan gerakan manja dan telapak tangannya mendarat di pundak suaminya. Sejenak kening Wati berkerut. Dia benar-benar merasa aneh, sementara hujan di luar begitu lebat, tetapi, kenapa baju suaminya tidak basah. Kenakalan tangan Ngadino, seketika mampu menepiskan kecurigaan itu. Bahkan, dengan manja Wati pun bergayut di pundak Ngadino dan keduanya beriringan menuju kamar tidurnya.
Wati sempat melirik ke serambi rumahnya. Dia melihat Bik Inah, isteri salah seorang karyawannya sedang mengasuh Rita, sedang Kurniasih masih di sekolah.
Tidak seperti biasanya, kali ini, Wati benar-benar dibuat benar-benar terkapar oleh suaminya. Selain ganas, hampir satu jam suaminya baru tuntas. Bertepatan dengan usainya pertarungan birahi, sontak, hidung Wati mencium bau sangit hingga dengan bergegas ia  meninggalkan ranjangnya menuju dapur. Wati dibuat geram manakala menemukan sayur lodehnya nyaris menjadi arang dengan asap yang menggumpal. Sambil menggerutu, Wati terpaksa memasak lagi sayur lodehnya sebelum mandi besar.
Menjelang Maghrib, truck penuh karung gabah memasuki halaman huller. Dengan sigap, Ngadino mengatur kuli agar segera membongkar muatan, setelah itu, ia bergegas memasuki ruang tamu. Di serambi dia berpapasan dengan istrinya yang tampak cerah.
“Untung aku datang lebih pagi, telat sedikit saja pasti sudah disabet orang lain. Juragan itu butuh uang banyak untuk menerbangkan anaknya ke Korea sehingga menjual semua hasil panennya. Rezeki nomplok, Nok,” demikian celoteh Ngadino di depan istrinya.
Wati balas memuji keberhasilan suaminya dengan kening berkerut. Ya, dia pantas bingung mendengar celoteh suaminya. Bagaimana bisa ngomong pagi-pagi, sementara pukul 10 lewat suaminya baru berangkat lagi mencari obyekan gabah seusai berhubungan intim dengannya. Apakah salah mengucap ataukah sekadar melampiaskan rasa bangganya atas perolehan gabah yang memang sangat banyak.
Keanehan demi keanehan terus mengisi ruang pikiran Wati, terutama kebiasaan baru suaminya, berangkat pagi buta dan pulang lagi pukul 9 atau 10 hanya untuk berhubungan badan kemudian berangkat lagi ngobyek gabah ke luar Kecamatan. Malamnya, akibat serangan kantuk yang sangat sulit ditepiskan, membuat hasratnya musnah terhadap sentuhan jemari Ngadino serta bisikan lembut pada daun telinganya.
Beruntung, Ngadino mau berlapang dada atas penolakan Wati yang memang tampakamat mengantuk di balik selimutnya.
Seperti pagi-pagi yang lalu, sebelum memulai aktivitas di dapur, Wati terlebih dulu mencuci beras di sumur yang terletak di belakang huller. Walau sumur tua, namun airnya jarang kering serta sejernih air ledeng.
Semasa masih ingusan, Wati sudah biasa menimba air untuk mandi di sana. Kali ini, sambil menurunkan ember plastik, sepasang mata Wati
terus mengikutinya hingga pantat ember menyentuh permukaan air sumur. Saat itu, ada getaran kuat dan sangat ganjil merasuki bathinnya. Ya … getaran hasrat wanita dewasa terhadap lelaki yang amat dicintainya. Begitupun ketika menenteng bakul berisi cucian beras di pinggang kanan dan tangan kiri menenteng ember berisi air, Wati merasa seolah ada sepasang mata menatap punggungnya. Didorong penasaran, dia langsung  menoleh ke belakang. Tak ada yang berubah, di sana hanya ada sumur tua. Tak ada siapa pun selain kesunyian yang mistis.
Keanehan lainnya, hari-hari terakhir ini entah kenapa Wati begitu gampang terbuai oleh lamunan. Pikirannya kosong. Hanya dipenuhi oleh hayalan masa lampau yang menari-nari dengan ritmis lembut dalam ruang jiwanya. Selain gampang terbuai lamunan, emosinya pun sangat mudah terpancing. Terkadang spontan marah tanpa sebab dengan sasaran siapa saja yang ada di dekatnya. Tidak terkecuali Kurniasih bahkan si bungsu yang masih polos.
Lamunannya buyar akibat suara langkah kaki di belakangnya. Buru-buru dia menoleh ke belakang. Dan beberapa langkah di belakangnya berdiri Inah dengan tatapan ganjil. Inah pun menyapa majikannya dengan nada iba dan penuh kasih.
“Kalau boleh, biar saya saja yang menyiapkan makan siang. Bu Wati kelihatan pucat sekali, jangan-jangan Ibu sedang sakit,” kata Inah.
“Tidak perlu repot, Rita mana?” Ujar Wati sambil bertanya.
“Lagi ditemani Kang Trisno di huller,” jawab Inah tetap sambil menunduk.
“Jangan ganggu suamimu, bukankah dia sedang bekerja. Sudah
Sana,” bentak Wati.
Inah tertegun beberapa saat. Baru kali ini dia melihat majikannya beraku sekasar itu. Tanpa disuruh duakali, Inah langsung meninggalkan dapur menuju huller. Belum lagi kejengkelan itu hilang, kembali Wati dikejutkan suara langkah kaki di belakangnya. Kali ini dia sudah tidak mau kompromi lagi  terhadap Inah. Sambil memutar badan dia bersiap-siap membentak. Tapi apa daya, suaranya tersangkut di kerongkongan.
Beberapa langkah di depannya berdiri Ngadino dengan tatapan penuh hasrat. Dan kali ini, untuk pertamakalinya dia menegur suaminya yang doyan menyusup ke dapur saat dirinya mulai memasak. Wati tidak mendapat jawaban selain rengkuhan hangat dari Ngadino. Jika sudah direngkuh seperti itu, maka, hasrat kewanitaannya langsung terpancing. Hingga tanpa banyak pertanyaan lagi, Wati pun langsung mengikuti langkah suaminya menuju peraduan.
Seperti biasa, cumbuan yang panas pun terjadi. Kini, pakaian keduanya mulai tercecer di lantai. Dan di balik selimut, mulut dan tangan keduanya sibuk dengan aktivitas birahi yang bergelora. Pada detik-detik selanjutnya, yang terdengar hanyalah erangan dan rintihan dari celah bibir Wati mengimbangi orang yang dicintainya tengah mengayuh kenikmatan.
Setengah jam berlalu begitu cepat, dan kain selimut sudah melorot ke lantai. Kini keduanya mengayuh kenikmatan tanpa selembar penutup pun. Sebelum puncak birahi berhasil dicapai, daun pintu didobrak dari luar disusul cairan bening yang mengguyur punggung Ngadino dan sebagian membasahi dada Wati.
Hanya dalam hitungan detik setelah diguyur air bening, sontak, Wati merasakan ketakutan luar biasa. Betapa tidak, sosok laki-laki yang ada di atas tubuhnya menggeram sangar dan tubuhnya bertambah berat menindihnya. Sebelum Wati sadar dengan apa yang telah terjadi, lengannya dibetot sangat kuat hingga tubuhnya terseret ke atas lantai.
Secara reflek, Wati buru-buru menyambar kain selimut untuk menutupi tubuh polosnya.  Seketika Ngadino merengkuh tubuh Wati dengan penuh kasih. Sementara, di sampingnya tampak Ustadz Busro yang terus menerus membacakan ayat suci dengan ritme sangat cepat.
Sementara di atas ranjang yang ada bukan Ngadino, melainkan sosok bugil sangat mengerikan. Tubuhnya begitu besar nyaris memenuhi permukaan ranjang. Dan yang paling mengerikan adalah bentuk wajahnya. Wajah dan tubuhnya berkulit Zebra, berambut gimbal juga menguarkan bau apek yang teramat menyengat dan memenuhi ruang kamar tidur itu.
Makhluk menyeramkan itu menggerung-gerung histeris, karena kesakitan yang tak teranggungkan. Pada bagian punggung yang terkena siraman air mengepulkan asap bak air raksa yang melelehkan logam. Dan pelan-pelan makhluk itu duduk di atas ranjang dengan kepala nyaris menyentuh penyangga kelambu.
“Tidak kusangka, engkau ternyata Genderuwo Belang terkutuk!” Bentak Ustadz Busro.
“Hrrrhh … ampoooun … ampouun menusaaa. Hanaaas …
hanaaasss!”
“Baik, engkau saya ampuni. Tapi, sebelum saya lepas, ada syarat yang harus kamu kerjakan. Sanggup?!” Tanya Ustadz Busro.
“Hatakan menusa. apa syaratnya?”
“Pertama, bersihkan segala kotoranmu yang ada pada Bu Wati. Kedua, tinggalkan sumur tua itu dan jangan ulangi perbuatan bejatmu kepada wanita manapun dari bangsa manusia. Lakukan syarat itu, lekas!” Bentak Ustadz Busro.
Makhluk itu lenyap dalam sekejap, seiring Wati seolah merasakan ada sengatan listrik yang keluar dari alat vitalnya. Akibatnya, Wati pun terkulai tak sadarkan diri dalam pelukan suaminya. Ngadino.
Wati tal sadarkan diri nyaris seharian dan baru siuman bertepatan dengan lantunan adzan Maghrib dari corong mesjid.
Semoga pembaca sekalian dapat mengambil hikmah dari cerita ini, betapa, iblis tak jemu-jemu menggoda manusia sampai akhir dunia tiba.

(Dimuat di Majalah Misteri #429 Edisi 20 OKtober- 4 Nop 2007 )


Lagi Kisah Seram: Ghost Stories Club