Selasa, 28 April 2020

Peristiwa Rengasdengklok sampai dengan Pegangsaan Timur (Proklamasi)

Wawan Setiawan Tirta
Peristiwa Rengasdengklok sampai dengan Pegangsaan Timur (Proklamasi)
Betapa besar jasa & pengorbanan para pahlawan dalam merebut & mempertahankan kemerdekaan. Kita hendaknya selalu menyadari bahwa kemerdekaan Indonesia adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, selayaknya selalu kita syukuri dengan terus menjaga & membangun menjadi bangsa yang lebih jaya.

Teks proklamasi kemerdekaan dibacakan oleh Sukarno dalam upacara pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Pernyataan kemerdekaan itu disambut bahagia oleh masyarakat Indonesia di berbagai daerah. Proses penyusunan proklamasi tersebut bukan langkah mudah. Bagaimana proses proklamasi kemerdekaan Indonesia? Mari kita lacak melalui ulasan di bawah ini!

1. Jepang Kalah Perang dengan Sekutu
Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Jepang, yakni di kota Hirosima & Nagasaki yang menyebabkan ratusan ribu penduduk Jepang meninggal dunia & ratusan ribu lainnya mengalami kecacatan. kerugian material tidak terhitung jumlahnya, bahkan sampai sekarang dampak bom atom itu masih dirasakan masyarakat Jepang. kerusakan & dampak korban sangat mengerikan itu kemudian mendorong masyarakat dunia sepakat untuk tidak menggunakan senjata itu dalam berbagai peperangan. Amerika Serikat menjatuhkan bom di 2 kota Jepang itu pada tanggal 6 & 9 Agustus 1945.

Yang melatar belakangi Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Jepang, yakni karena Perang dunia ke II yang berkecamuk sejak tahun 1939 telah menyebabkan kedua kelompok yakni Sekutu & negara-negara fasis saling menyerang dengan menggunakan senjata pemusnah & kerusakan massal. korban & kerugian kedua belah pihak tidak terhitung jumlahnya. Jutaan manusia meninggal dunia, karena Perang Dunia ke II itu. Bahkan sebagian besar dari mereka adalah masyarakat sipil yang bukan merupakan tentara perang, menjadi korban.

Kehancuran Kota Hirosima & Nagasaki memukul perasaan bangsa Jepang. Sekutu lebih unggul dalam persenjataan.  Jika Perang itu berlanjut, Jepang akan lebih hancur. Pada akhirnya jepang memutuskan untuk mengakhiri perang dunia dengan melakukan penyerahan kepada Sekutu tanpa syarat. Penyerahan Jepang kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945 inilah yang menandai berakhirnya Perang Dunia ke II. sebetulnya tanda-tanda kekalahan Jepang pada Perang Dunia ke II sudah telihat sejak tahun 1943 dengan berhasil direbutnya beberapa wilayah oleh Sekutu & pengeboman Hiroshima & Nagasaki merupakan faktor pemicu Jepang harus menyerah.

Sementara itu kondisi Kondisi bangsa Indonesia pada saat Jepang kalah dengan Sekutu
Sejak semakin terjepit dalam kekalahan, Jepang kemudian terpaksa memberi janji kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Komado Tentara Jepang wilayah Selatan, pada bulan Juli 1945 menyepakati & memberikan kemerdekaan Indonesia pada 7 September 1945.
Tanggal 7 Agustus 1945, Jenderal Terauchi menyetujui pembentukan Dokuritsu Junbi Inkai (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia/PPKI) yang tugasnya untuk melanjutkan pekerjaan BPUPKI yang diketuai oleh Ir. Soekarno dengan wakil Drs. Moh. Hatta.

Panitia persiapan atau PPKI itu beranggotakan 21 orang & semuanya orang Indonesia yang berasal dari berbagai daerah.
  • Wakil Jawa (12 wakil)
  • Wakil Sumatra (3 wakil)
  • Wakil Sulawesi (2 wakil)
  • Wakil Kalimantan (1 wakil)
  • Wakil Sunda Kecil (1 wakil)
  • Wakil Maluku (1 wakil)
  • Wakil & golongan penduduk Cina (1 wakil)
Jenderal Terauchi pada 9 Agustus 1945 memanggil Sukarno, Moh. Hatta, & Rajiman Wedyodiningrat untuk pergi ke Dalat, Saigon. Saigon adalah salah satu pusat tentara Jepang. Pada 12 Agustus 1945, Jenderal Terauchi mengucapkan selamat kepada Sukarno & Moh. Hatta sebagai ketua & wakil ketua PPKI. Kemudian Terauchi menegaskan bahwa Jepang akan menyerahkan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Sukarno, Moh. Hatta, & Rajiman Wedyodiningrat pulang kembali ke Jakarta pada 14 Agustus 1945.

Pada masa-masa inilah terjadi peristiwa yang dramatis di wilayah Indonesia. Meskipun, alat komunikasi pada masa itu dikuasai Jepang, namun para tokoh perjuangan berhasil mengakses berbagai informasi dunia dengan berbagai cara. Radio sebagai alat yang paling berperan pada masa itu telah disegel oleh Jepang.

Siaran radio sudah lama menjadi kekuasaan Jepang, untuk menerima siaran radio luar negeri pun masyarakat Indonesia tidak diizinkan. Hal ini disebabkan oleh ketakutan Jepang apabila bangsa Indonesia mengetahui perkembangan perang yang menunjukkan Jepang semakin terjepit.

Tetapi, para tokoh pergerakan tidak kurang akal. Mereka berhasil menyembunyikan beberapa radio gelap yang dapat digunakan untuk mendengarkan berbagai siaran radio luar negeri seperti BBC London.

2. Perbedaan Pendapat & Penculikan
Hari-hari menjelang 15 Agustus 1945 merupakan hari yang menegangkan bagi bangsa Jepang & bangsa Indonesia. Bagi bangsa Jepang, tanggal tersebut merupakan titik akhir nyali mereka dalam melanjutkan PD II. Menyerah kepada Sekutu adalah pilihan yang sangat pahit tetapi harus dilakukan. Bagi bangsa Indonesia, tanggal tersebut justru menjadi kesempatan baik untuk mempercepat proklamasi kemerdekaan.

Inilah yang menjadi pemikiran utama para pemuda atau sering disebut Golongan Muda kaum pergerakan Indonesia. Para pemuda berpikir, bahwa menyerahnya Jepang kepada Sekutu, berarti di Indonesia sedang kosong kekuasaan. Proklamasi dipercepat adalah pilihan yang tepat.

Para pejuang terutama kaum muda yang melancarkan gerakan “bawah tanah” segera mengetahui berita penyerahan Jepang itu. Para pemuda mendesak para tokoh senior untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sutan Syahrir yang merupakan tokoh pemuda telah mengetahui berita penyerahan Jepang kepada Sekutu dari siaran radio.
Oleh sebab itu, ia segera menemui Moh. Hatta di kediamanya. Syahrir mendesak agar Sukarno & Moh. Hatta segera memerdekakan Indonesia. tetapi, ternyata Sukarno & Moh. Hatta belum bersedia, mereka akan mengonfirmasi terlebih dulu mengenai kebenaran berita itu.

Sebenarnya Sukarno & Hatta menolak untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, karena alasan” Sebagai tokoh-tokoh yang demokratis, tahu hak & kewajiban selaku pemimpin, kedua tokoh itu berpendapat bahwa untuk memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, perlu dibicarakan dengan PPKI agar tidak menyimpang dari ketentuan”. Namun, para pemuda berpendapat bahwa proklamasi Kemerdekaan Indonesia harus dilaksanakan oleh kekuatan bangsa sendiri, bukan oleh PPKI. Menurut para pemuda, PPKI itu buatan Jepang.

Hari Rabu, 15 Agustus 1945 sekitar pukul 22.00 WIB, para pemuda yang dipimpin Wikana, Sukarni, & Darwis datang di rumah Sukarno di Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Wikana & Darwis memaksa Sukarno untuk memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia. Para pemuda mendesak agar proklamasi dilaksanakan paling lambat hari Kamis, 16 Agustus 1945.
Sukarno marah, sambil menunjuk lehernya ia berkata, “Ini goroklah leherku, saudara boleh membunuh saya sekarang juga. Saya tidak bisa melepas tanggung jawab saya sebagai ketua PPKI, karena itu akan saya tanyakan kepada wakil-wakil PPKI besok”. Ketegangan terjadi di rumah Sukarno. Hal ini juga disaksikan antara lain oleh Moh. Hatta, dr. Buntaran, Ahmad Subarjo, & lwa Kusumasumantri.

Para pemuda gagal memaksa Sukarno & golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Para pemuda malam itu sekitar pukul 24.00 tanggal 15 Agustus mengadakan pertemuan di Jl Cikini 71 Jakarta. Para pemuda yang hadir, antara lain Sukarni, Yusuf Kunto, Chaerul Saleh, & Shodanco Singgih. Mereka sepakat untuk membawa Sukarno & Moh. Hatta ke luar kota. Tujuannya, agar kedua tokoh ini jauh dari pengaruh Jepang & bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Para pemuda juga sepakat menunjuk Shodanco Singgih untuk memimpin pelaksanaan rencana itu.

Untuk melaksanakan tugas, Singgih mendapat pinjaman beberapa perlengkapan dari markas Peta di Jaga Monyet. Waktu itu yang piket di markas Peta adalah Latif Hendraningrat. Singgih disertai pengemudi, Sampun & penembak mahir Sutrisno bersama Sukarni, Wikana, & dr. Muwardi menuju ke rumah Moh.Hatta. Singgih secara singkat minta kesediaan Moh. Hatta untuk ikut ke luar kota. Moh. Hatta menuruti kehendak para pemuda itu. Rombongan kemudian menuju ke rumah Sukarno. Tiba di rumah Sukarno, Singgih meminta agar Sukarno ikut pergi ke luar kota saat itu juga. Sukarno setuju, asal Fatmawati, Guntur (waktu itu berusia sekitar delapan bulan) & Moh. Hatta ikut serta. Pada Kamis, 16 Agustus sekitar pukul 04.00 pagi rombongan Sukarno, Moh. Hatta, & para pemuda menuju Rengasdengklok.

Dipilih daerah Kawedanan Rengasdengklok, karena daerah itu terpencil yakni 15 km dari Kedunggede, Karawang. Selain itu, juga ada hubungan baik antara Daidan Peta Purwakarta & Daidan Jakarta, sehingga dari segi keamanan terjamin. Pagi hari rombongan Sukarno sampai di Rengasdengklok. Mereka diterima oleh Shodanco Subeno & Affan. Mereka ditempatkan di rumah Kie Song yang simpati pada perjuangan bangsa Indonesia.

Sehari di Rengasdengklok, ternyata gagal memaksa Sukarno untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia lepas dari campur tangan Jepang. tetapi, ada gelagat yang ditangkap oleh Singgih bahwa Sukarno bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia kalau sudah kembali ke Jakarta. Melihat tanda-tanda bahwa Sukarno bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, maka sekitar pukul 10.00 bendera Merah Putih dikibarkan di halaman Kawedanan Rengasdengklok.

Jakarta berada dalam keadaan tegang karena 16 Agustus 1945 seharusnya diadakan pertemuan PPKI, tetapi Sukarno & Moh. Hatta tidak ada di tempat. Ahmad Subarjo segera mencari kedua tokoh itu. Akhirnya setelah terjadi kesepakatan dengan Wikana, Ahmad Subarjo ditunjukkan & diantarkan ke Rengasdengklok oleh Yusuf Kunto. Ahmad Subarjo tiba di Rengasdengklok pukul 17.30 WIB untuk menjemput
Sukarno & rombongan. Kecurigaan pun menyelimuti perasaan para pemuda yang bertemu dengan Ahmad Subarjo. Akhirnya Ahmad Subarjo memberikan jaminan. Apabila besok (17 Agustus) paling lambat pukul 12.00, belum ada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, taruhannya nyawa Ahmad Subarjo. Dengan jaminan itu, maka Shodanco Subeno mewakili para pemuda mengizinkan Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta, & rombongan kembali ke Jakarta. Petang itu juga Sukarno & rombongan kembali ke Jakarta. Dengan begitu berakhirlah peristiwa Rengasdengklok.

3. Perumusan Teks Proklamasi Hingga Pagi
Setelah para pemuda melepas para tokoh golongan tua itu, rombongan kemudian menuju kediaman Nishimura di Jakarta. Kepada Nishimura, Sukarno menyampaikan rencana rapat persiapan pelaksanaan kemerdekaan Indonesia. Nishimura menolak memberi bantuan dengan alasan sudah mendapat perintah dari pihak Serikat untuk tidak mengubah status & keadaan di Indonesia. Dengan jawaban itu Sukarno berkesimpulan bahwa tidak mungkin lagi mengharap bantuan Jepang.

Rombongan Sukarno segera kembali ke rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1. Para tokoh-tokoh nasionalis berkumpul di rumah Maeda untuk merumuskan teks proklamasi. Di rumah Maeda, hadir para anggota PPKI, para pemimpin pemuda, para pemimpin pergerakan, & beberapa anggota Chuo Sangi In yang ada di Jakarta & mereka berjumlah 40 - 50 orang.

Rumah Laksamana Maeda itu dianggap aman dari kemungkinan gangguan yang sewenang-wenang dari anggota-anggota Rikugun (Angkatan Darat Jepang/Kampeitai) yang hendak menggagalkan usaha bangsa Indonesia untuk mengumumkan Proklamasi Kemerdekaannya.
Hal itu karena, Laksamana Maeda adalah Kepala Perwakilan Kaigun, maka rumahnya merupakan extra-territorial, yang harus dihormati oleh Rikugun. Selain itu, Laksamana Maeda sendiri memiliki hubungan yang akrab dengan para pemimpin bangsa Indonesia, & Maeda juga simpatik terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia, maka rumah beliau direlakan menjadi tempat pertemuan para pemimpin bangsa Indonesia untuk berunding & merumuskan naskah/teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Setelah tiba di Jl. Imam Bonjol No. 1, lalu Sukarno & Moh. Hatta diantarkan Laksamana Maeda menemui Gunseikan Mayor Jenderal Hoichi Yamamoto (Kepala Pemerintahan Militer Jepang). Akan tetapi Gunseikan menolak menerima Sukarno-Hatta pada tengah malam. Dengan ditemani oleh Maeda, Shigetada Nishijima & Tomegoro Yoshizumi serta Miyoshi sebagai penterjemah, mereka pergi menemui Somubuco Mayor Jenderal Otoshi Nishimura (Direktur/Kepala Departemen Umum Pemerintahan Militer Jepang), dengan maksud untuk menjajaki sikapnya terhadap pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Pada pertemuan tersebut tidak dicapai kata sepakat antara Sukarno-Hatta di satu pihak dengan Nishimura di lain pihak. Di satu pihak Sukarno- Hatta bertekad untuk melangsungkan rapat PPKI yang pada pagi hari, 16 Agustus 1945 itu tidak jadi diadakan karena mereka dibawa ke Rengasdengklok. Mereka menekankan kepada Nishimura bahwa Jenderal Besar Terauchi telah menyerahkan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia kepada PPKI. Di lain pihak Nishimura menegaskan garis kebijakan Panglima Tentara ke-XVI di Jawa, bahwa dengan menyerahnya Jepang kepada Sekutu berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak diperbolehkan lagi mengubah status quo.

Berdasarkan garis kebijaksanaan itu, Nishimura melarang Sukarno-Hatta untuk mengadakan rapat PPKI dalam rangka pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Sampailah Sukarno-Hatta pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi untuk membicarakan soal kemerdekaan Indonesia dengan pihak Jepang. Mereka hanya berharap pihak Jepang supaya tidak menghalanghalangi pelaksanaan Proklamasi oleh rakyat Indonesia sendiri.

Setelah pertemuan itu, Sukarno & Hatta kembali ke rumah Maeda. Setelah berbicara sebentar dengan Sukarno, Moh. Hatta & Ahmad Subarjo, Laksamana Maeda minta diri untuk beristirahat & mempersilakan para pemimpin Indonesia berunding sampai puas di rumahnya. Di ruang makan Maeda, dirumuskanlah naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Ketika peristiwa itu berlangsung Maeda tidak hadir, namun Miyoshi sebagai orang kepercayaan Nishimura bersama Sukarni, Sudiro, & B.M. Diah menyaksikan Sukarno, Hatta, & Ahmad Subarjo membahas perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Sukarno pertama kali menuliskan kata pernyataan “Proklamasi”. Sukarno kemudian bertanya kepada Moh. Hatta & Ahmad Subarjo.“Bagaimana bunyi rancangan pada draf pembukaan UUD? Kedua orang yang ditanya pun tidak ingat persis. Ahmad Subarjo kemudian menyampaikan kalimat “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”.

Moh. Hatta menambahkan kalimat: “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan & lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama & dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya”. Sukarno menuliskan, “Jakarta, 17-8-’05 Wakil-wakil bangsa Indonesia”, sebagai penutup.

Pukul 04.00 WIB dini hari, Sukarno minta persetujuan & minta tanda tangan kepada semua yang hadir sebagai wakil-wakil bangsa Indonesia. Para pemuda menolak dengan alasan sebagian yang hadir banyak yang menjadi kolaborator Jepang.
Peristiwa Rengasdengklok sampai dengan Pegangsaan Timur  Peristiwa Rengasdengklok sampai dengan Pegangsaan Timur (Proklamasi)
Sukarni mengusulkan agar teks proklamasi cukup ditandatangani dua orang tokoh, yakni Sukarno & Moh. Hatta, atas nama bangsa Indonesia. Usul Sukarni diterima. Dengan beberapa perubahan yang telah disetujui, maka konsep itu kemudian diserahkan kepada Sayuti Melik untuk diketik.
Berikut naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, baik yang ditulis oleh Sukarno maupun yang diketik oleh Sayuti Melik. Rumusan Naskah Proklamasi yang ditulis oleh Sukarno;

PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17-8-‘05
Wakil-2 bangsa Indonesia

Keterangan: kalimat pertama merupakan saran Ahmad Subarjo yang diambil dari Piagam Jakarta. Sedangkan kalimat kedua merupakan sumbangan pikiran Hatta, karena beliau menganggap kalimat pertama hanyalah merupakan pernyataan dari kemauan bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Menurut pendapatnya perlu ditambahkan pernyataan mengenai pengalihan kekuasaan.

Naskah Proklamasi yang sudah diketik oleh Sayuti Melik;

PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ’05
Atas nama bangsa IndonesiaSukarno-Hatta
(tandatangan Sukarno)
(tandatangan Hatta)

Keterangan; naskah diatas sudah mengalami perubahan sesuai dengan persetujuan dalam rapat.

Naskah Proklamasi Otentik
Beberapa perubahan yang dimaksud, yaitu kata tempoh diganti dengan kata tempo. Penulisan tanggal, bulan, dan tahun yang semula Jakarta, 17-8-’05 diubah menjadi Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun ‘05. (Tahun 05 adalah singkatan dari tahun Jepang Sumera, yakni tahun 2605 yang bertepatan dengan tahun 1945 Masehi). Kata-kata Wakil-wakil bangsa Indonesia diganti dengan kata-kata Atas nama bangsa Indonesia. Teks proklamasi diketik kemudian ditandatangani oleh Sukarno dan Moh. Hatta. Naskah inilah kemudian yang disebut teks proklamasi yang otentik

Demikian pertemuan dini hari itu menghasilkan naskah Proklamasi. Agar seluruh rakyat Indonesia mengetahuinya, naskah itu harus disebarluaskan. Timbullah persoalan tentang bagaimana caranya naskah itu disebarluaskan ke seluruh Indonesia. Sukarni mengusulkan agar naskah itu dibacakan di Lapangan Ikada, yang telah dipersiapkan bagi berkumpulnya masyarakat Jakarta untuk mendengar pembacaan naskah Proklamasi. Namun Sukarno tidak setuju, karena tempat itu adalah tempat umum yang dapat memancing bentrokan antara rakyat dengan militer Jepang. Beliau sendiri mengusulkan agar Proklamasi dilakukan di rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur No.56. Usul tersebut disetujui & naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakannya bersama Hatta di tempat itu pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 pukul 10.00 di tengah-tengah bulan Ramadhan (bulan Puasa).

4. Pembacaan Proklamasi Pukul 10.00 Pagi
Pada pukul 5 pagi tanggal 17 Agustus 1945, para pemimpin & pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda dengan diliputi kebanggaan. Mereka telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan di rumah Sukarno di Jl. Pegangsaan Timur No. 56 pada pukul 10 pagi. Sebelum pulang, Moh. Hatta berpesan kepada B.M. Diah untuk memperbanyak teks Proklamasi & menyiarkannya ke seluruh dunia.

Sementara itu, para pemuda tidak langsung pulang, mereka melakukan kegiatan-kegiatan untuk penyelenggaraan pembacaan naskah Proklamasi. Masing-masing kelompok pemuda mengirim kurir untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa saat Proklamasi telah tiba. Semua alat komunikasi digunakan untuk penyambutan Proklamasi. Pamflet, pengeras suara, & mobil-mobil dikerahkan ke segenap penjuru kota. Tanpa diduga, pada hari itu barisan pemuda berbondong-bondong menuju Lapangan Ikada. Para pemuda datang ke tempat itu, karena informasi yang disampaikan dari mulut ke mulut bahwa Proklamasi akan diselenggarakan di Lapangan Ikada. Rupanya Jepang telah mencium kegiatan para pemuda malam itu, sehingga mereka berusaha untuk menghalang-halanginya.

Lapangan Ikada telah dijaga oleh Pasukan Jepang yang bersenjata lengkap. Ternyata Proklamasi tidak diselenggarakan di Lapangan Ikada, melainkan di Pegangsaan Timur No. 56.

Pada pagi hari itu juga, rumah Sukarno dipadati oleh sejumlah massa. Untuk menjaga keamanan upacara pembacaan Proklamasi, dr. Muwardi meminta Latief Hendraningrat beserta beberapa anak buahnya untuk berjaga-jaga di sekitar rumah Sukarno.

Sementara itu, Walikota Jakarta, Suwiryo memerintahkan kepada Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan seperti mikrofon. Sedangkan Sudiro memerintahkan kepada S. Suhud untuk menyiapkan tiang bendera. S. Suhud mendapatkan bendera Merah Putih dari Ibu Fatmawati.

Bendera dijahit Ibu Fatmawati sendiri & ukurannya sangat besar (tidak standar). Bendera Merah Putih yang dijahit Fatmawati dikenal dengan bendera pusaka. Sejak tahun 1969 tidak lagi dikibarkan & diganti dengan bendera duplikat.

Sejak pagi hari, sudah banyak orang berdatangan di rumah Sukarno di Jl. Pegangsaan Timur No. 56. Tokoh-tokoh yang sudah hadir, antara lain Mr. A. A. Maramis, dr. Buntaran Martoatmojo, Mr. Latuharhary, Abikusno Cokrosuyoso, Otto Iskandardinata, Ki Hajar Dewantoro, Sam Ratulangie, Sartono, Sayuti Melik, Pandu Kartawiguna, M. Tabrani, dr. Muwardi, Ny. SK. Trimurti, & AG. P Acara yang direncanakan pada upacara bersejarah itu adalah; pertama pembacaan teks proklamasi; kedua, pengibaran bendera Merah Putih; & ketiga, sambutan walikota Suwiryo & dr. Muwardi dari keamanan. Hari Jumat Legi, tepat pukul 10.00 WIB, Sukarno & Moh. Hatta keluar ke serambi depan, diikuti oleh Ibu Fatmawati. Sukarno & Moh. Hatta maju beberapa langkah. Sukarno mendekati mikrofon untuk membacakan teks proklamasi. ringgodigdo. Diperkirakan yang hadir pada pagi itu seluruhnya ada 1.000 orang. 

Acara berikutnya adalah pengibaran bendera Merah Putih yang dilakukan oleh Latief Hendraningrat & S. Suhud. Bersamaan dengan naiknya bendera Merah Putih, para hadirin secara spontan menyanyikan lagu Indonesia Raya tanpa ada yang memimpin. Setelah itu, Suwiryo memberikan sambutan & kemudian disusul sambutan dr. Muwardi. Sekitar pukul 11.00 WIB, upacara telah selesai. Kemudian dr. Muwardi menunjuk beberapa anggota Barisan Pelopor untuk menjaga keselamatan Sukarno & Moh. Hatta.
Sayuti Melik sempat membuang naskah asli yang merupakan konsep awal. Namun insting wartawan seorang BM Diah, tergerak. Diah memungutnya lalu mengamankan dalam sakunya. Berkat kejelian BM Diah, hingga kini kita masih bisa menyaksikan naskah bersejarah ini. Naskah dalam bentuk ketikan ini kemudian ditandatangani Sukarno-Hatta di atas sebuah piano.
Karena begitu tergesa-gesanya para tokoh ini tidak sempat menyiapkan bendera negara. Konon pada malam itu juga, mereka membuat bendera dari kain sprei putih dan kain merah milik dari seorang penjual soto yang kebetulan mangkal di sekitar rumah Sukarno. Situasi begitu kritis, ketika menjelang pembacaan, Sukarno dikabarkan menderita sakit malaria. Hingga pukul 08.00 WIB pagi, Presiden Pertama Republik Indonesia masih belum bisa bangun.

5. Kebahagiaan Rakyat atas Kemerdekaan Indonesia
Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia cepat bergema ke berbagai daerah. Rakyat di Jakarta maupun di kota-kota lain menyambut dengan antusias. Karena alat komunikasi yang terbatas, informasi ke daerah-daerah tidak secepat di Jakarta. Saat tersiarnya berita tentang Proklamasi Kemerdekaan, banyak rakyat Indonesia yang tinggal jauh dari Jakarta tidak mempercayainya. Pada  22 Agustus, Jepang akhirnya secara resmi mengumumkan penyerahannya kepada Sekutu. Baru pada bulan September 1945, Proklamasi diketahui di wilayah-wilayah yang terpencil. Sesaat setelah itu, timbullah segera masalah kesetiaan. Keempat penguasa kerajaan yang ada di Jawa Tengah menyatakan dukungan mereka kepada Republik, yaitu Yogyakarta, Surakarta, Pakualaman, & Mangkunegaran.

Euforia revolusi segera mulai melanda negeri ini, khususnya kaum muda yang merespon kegairahan dan tantangan kemerdekaan. Para komandan pasukan Jepang di daerah-daerah sering kali meninggalkan wilayah perkotaan & menarik mundur pasukan ke daerah pinggiran guna menghindari konfrontasi.

Banyak yang bijaksana memperbolehkan pemuda-pemuda Indonesia memperoleh senjata. Antara tanggal 3-11 September, para pemuda di Jakarta mengambil alih kekuasaan atas stasiun-stasiun kereta api, sistem listrik, & stasiun pemancar radio tanpa mendapat perlawanan dari pihak Jepang. Pada akhir bulan September, instalasi-instalasi penting di Yogyakarta, Surakarta, Malang, & Bandung juga sudah berada di tangan para pemuda Indonesia.

Selain itu, juga terlihat adanya semangat revolusi di dalam kesusasteraan & kesenian. Surat-surat kabar & majalah Republik bermunculan di berbagai daerah, terutama di Jakarta, Yogyakarta, & Surakarta. Aktivitas kelompok sastrawan yang bernama “Angkatan 45”, mengalami masa puncaknya pada zaman revolusi. Lukisan-lukisan modern juga mulai berkembang pesat di era revolusi.

Banyak pemuda bergabung dengan badan-badan perjuangan. Di Sumatera, mereka benar-benar memonopoli kekuasaan revolusioner. Karena jumlah pemimpin nasionalis yang sudah mapan di sana hanya segelintir, mereka ragu terhadap apa yang akan dilakukan.

Para mantan prajurit Peta & Heiho membentuk kelompok-kelompok yang paling disiplin. Laskar Masyumi & Barisan Hizbullah, menerima banyak pejuang baru dan ikut bergabung dalam kelompok-kelompok bersenjata Islam lainnya yang umumnya disebut Barisan Sabilillah, yang kebanyakan dipimpin oleh para Kiai.

Proklamasi kemerdekaan akan disebarluaskan melalui radio, namun Jepang menentang upaya penyiaran tersebut, dan malah memerintahkan agar para penyiar meralat berita proklamasi sebagai sesuatu kekeliruan. Tampaknya para penyiar tetap tidak mau memenuhi seruan pihak Jepang. Oleh sebab itu, pada 20 Agustus 1945 pemancarnya disegel dan para pegawainya dilarang masuk. Mereka kemudian membuat pemancar baru di Menteng 31.

Di samping melalui siaran radio, para wartawan juga menyebarluaskan berita proklamasi melalui media cetak, seperti surat kabar, selebaran, & penerbitan-penerbitan yang lain. Pada 3 September 1945, para pemuda mengambil alih kereta api termasuk bengkel di Manggarai. Tanggal 5 September 1945, Gedung Radio Jakarta dapat dikuasai. Tanggal 11 September 1945, seluruh Jawatan Radio berhasil dikuasai oleh Republik. Oleh sebab itu, tanggal 11 September dijadikan hari lahir Radio Republik Indonesia (RRI).

Para pemuda memprakarsai diadakannya rapat raksasa di Lapangan Ikada (sekarang Monas). Rapat yang digagas oleh para pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam “Kesatuan van Aksi”, untuk melakukan rapat raksasa di lapangan Ikada, yang semula digagas tanggal 17 September 1945, mundur menjadi 19 September 1945. Presiden Sukarno sudah dihubungi & bersedia akan menyampaikan pidato di dalam rapat raksasa pada 19 September 1945. Sejak pagi, rakyat Jakarta sudah mulai berdatangan & memenuhi Lapangan Ikada. Rapat itu untuk memperingati sebulan kemerdekaan Indonesia.

Bermula dari ketidakpuasan rakyat terhadap sikap Jepang yang belum juga mengakui Negara Republik Indonesia dan bahkan Jepang malah mempertahankan status quo-nya dengan mengatasnamakan Sekutu. Kondisi itu mendorong rakyat Indonesia yang baru saja merdeka, untuk segera membentuk pemerintah yang baru dan mengambil langkah-langkah nyata.

Ketidakpuasan rakyat semakin bertambah ketika mengetahui pendaratan pasukan Sekutu dibawah pimpinan Mayor Geenhalgh, di Kemayoran pada 8 September 1945. Rakyat dari berbagai penjuru dengan tertib berdatangan ke Lapangan Ikada dengan membawa poster dan bendera merah-putih. Mereka menuntut kebulatan tekat untuk mengisi kemerdekaan Indonesia & juga bertekad untuk menunjukkan pada dunia internasional bahwa kemerdekaan Indonesia bukan atas bantuan Jepang, akan tetapi merupakan tekad seluruh rakyat Indonesia.
Melihat tekad rakyat yang menggelora dan tidak dapat dihalangi meskipun oleh tentara Jepang sekalipun, pemerintah terdorong untuk mengadakan sidang kabinet. Setelah itu, diputuskan Presiden Sukarno & Moh. Hatta & para menteri untuk datang ke Lapangan Ikada. Pada kesempatan itu Sukarno menyampaikan pidatonya yang disambut dengan gegap gempita oleh rakyat. Rapat itu berlangsung tertib & damai.

Pada 19 Agustus 1945 Sri Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paku Alam VIII telah mengirim kawat ucapan selamat kepada Presiden Sukarno & Wakil Presiden Moh. Hatta atas berdirinya Negara Republik Indonesia & atas terpilihnya dua tokoh tersebut sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Ucapan selamat itu tersirat bahwa Sultan Hamengkubuwana IX dan Paku Alam VIII mengakui kemerdekaan RI dan siap membantu mereka. Kemudian, pagi itu sekitar pukul 10.00 tanggal 19 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengkubuwana IX mengundang kelompok-kelompok pemuda di bangsal kepatihan.

Kemudian untuk mempertegas sikapnya, Sri Sultan Hamengkubuwana IX & Sri Paku Alam VII pada tanggal 5 September 1945 mengeluarkan amanat antara lain sebagai berikut;
  • Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat bersifat kerajaan dan merupakan daerah istimewa dari Negara Indonesia.
  • Sri Sultan sebagai kepala daerah dan memegang kekuasaan atas Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat.
  • Hubungan antara Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara RI bersifat langsung. Sultan selaku Kepala Daerah Istimewa bertanggung jawab kepada Presiden.
Amanat Sri Paku Alam VIII sama dengan amanat Sri Sultan Hamengkubuwana IX. Hanya saja kata‘Sri Sultan Hamengkubuwana IX’ diganti dengan ‘Sri Paku Alam VIII’ & ‘Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat’ diganti dengan ‘Negeri Paku Alaman’. Sementara di Surabaya, memasuki bulan September 1945, terjadi gerakan perebutan senjata di gudang Don Bosco. Rakyat Surabaya juga merebut Markas Pertahanan Jepang di Jawa Timur, serta pangkalan Angkatan Laut di Ujung sekaligus merebut pabrik-pabrik yang tersebar di sana.

Orang-orang Inggris dan Belanda yang sebagian telah datang, langsung berhubungan dengan Jepang. Mereka menginap di Hotel Yamato atau Hotel Oranye pada zaman Belanda. Pada 19 September 1945, seorang bernama Ploegman dibantu kawan-kawannya mengibarkan bendera Merah Putih Biru di atas Hotel Yamato. Residen Sudirman segera memperingatkan agar Ploegman dan kawan-kawannya menurunkan bendera tersebut. Peringatan itu tidak mendapat tanggapan.

Hal ini telah mendorong kemarahan para pemuda Surabaya. Para pemuda Surabaya kemudian menyerbu Hotel Yamato. Beberapa pemuda berhasil memanjat atap hotel dan menurunkan bendera Merah Putih Biru, kemudian merobek bagian warna birunnya. Setelah itu, bendera tersebut dikibarkan kembali sebagai bendera Merah Putih. Dengan berkibamya bendera Merah Putih maka dengan penuh semangat & tetap menjaga kewaspadaan, para pemuda itu satu per satu meninggalkan Hotel Yamato.
Indonesia telah merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Apa makna kemerdekaan itu bagi kehidupan politik, ekonomi, sosial, & kebudayaan bangsa. Sudah barang tentu secara politik bangsa Indonesia memiliki kedaulatan, bebas untuk menentukan nasib sendiri. Secara ekonomi kita tidak tergantung dan ditindas oleh bangsa lain. Bangsa Indonesia dapat meracang pembangunan demi kesejahteraan. Dari dimensi sosial, sebagai rakyat yang merdeka tidak lagi merupakan kelompok kelas 2 atau kelas 3, namun sederajat dengan masyarakat dan bangsa lain. Dengan kemerdekaan kita juga dapat mengembangkan kebudayaan bangsa sesuai dengan nilai-nilai dan martabat bangsa Indonesia. Semua ini menjadi mudah untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.
Simpulan singkat;
  • Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan perjuangan bersama rakyat Indonesia. Banyak tokoh berperan dalam proses perjuangan tersebut. Bahkan bukan hanya bangsa Indonesia, namun sebagian bangsa lain juga bersimpati untuk perjuangan bangsa Indonesia.
  • Peranan para tokoh dalam proklamasi kemerdekaan berbeda-beda. Mereka berperan sesuai dengan kemampuan & kesempatan yang harus dilakukan.
  • Rakyat Indonesia di berbagai daerah mendukung proklamasi kemerdekaan Indonesia dibuktikan dengan reaksi mereka yang sangat heroik. Keberanian dan kerelaan berkorban ditunjukkan rakyat di berbagai daerah dalam rangka mengambil alih kekuasaan Jepang.
Demikianlah ulasan mengenai “Peristiwa Rengasdengklok sampai dengan Pegangsaan Timur (Proklamasi)”, yang pada kesempatan ini dapat dibahas. Semoga ulasan di atas, bermanfaat bagi para pengunjung ataupun pembaca. Cukup sekian, kurang/lebihnya mohon maaf & sampai jumpa!
*Rajinlah belajar, demi Bangsa & Negara, serta jagalah kesehatanmu!!!